Multidrug resistance TB (MDR TB)
MULTIDRUG RESISTANCE (MDR) TB
A. Definisi
Multidrug resistance TB (MDR TB) adalah TB dengan resistensi terjadi dimana basil Micobacterium tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya (World Health Organization, 1997). TB resistensi dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif obat (Mc Donald, et al. 2003).
B. Etiologi
Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB akibat mutasi dari gen mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami mutasi menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat, dan terlambatnya penegakkan diagnostik (Leitch, 2000). Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu (Aditama, et al. 2006):
1. Implementasi DOTS rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain yang masih rendah kualitasnya. Hasil penilaian implementasi DOTS di 50 rumah sakit di Jawa pada tahun 2007 menunjukkan bahwa angka putus berobat (default) pasien TB masih tinggi, yaitu 10-20% dari pasien TB kategori 1 dan 6-29% dari pasien TB kategori 2. Selain itu, rerata keberhasilan pengobatan di rumah sakit juga masih rendah, berkisar 60% dari target kesembuhan 85%. Angka kesembuhan pada pasien TB yang mendapat pengobatan ulang (kategori 2) semakin rendah, hanya mencapai 6,5%. Oleh karena itu, lebih dari 90% pasien TB yang mendapat pengobatan ulang di rumah sakit mempunyai risiko untuk menjadi tersangka TB MDR.[12] Tingkat keberhasilan pengobatan yang rendah ini juga disebabkan oleh proses case holding yang lemah akibat rendahnya tingkat kepatuhan pasien dalam pengobatan, kurangnya dukungan pasien/keluarga dan lemahnya jejaring internal rumah sakit serta jejaring eksternal antara rumah sakit dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang menerapkan DOTS (Hospital DOTS Linkage). Disamping itu, tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku pasien terhadap penyakit TB juga ikut mempengaruhi rendahnya kepatuhan pasien dalam pengobatan.
2. Peningkatan ko-infeksi TB-HIV
3. Sistem surveilans yang lemah
4. Penanganan kasus TB resisten obat yang belum memadai.
5. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
6. Penggunaan panduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut.
7. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.
8. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
9. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
10. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.
C. Mekanisme
Ungkapan terhadap “tahap MDR” pada mikrobakteriologi mengarah pada resisten secara simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa resistensi pada obat anti tuberkulosis lainnya) (Vareldzis, et al. 1994). Analisa secara genetik dan molekuler pada mikobakterium tiberkulosis menjelaskan bahwa mekanisme resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap target obat (Spratt, 1994) atau oleh titrasi dari obat akibat overproduksi dari target.
Ungkapan terhadap “tahap MDR” pada mikrobakteriologi mengarah pada resisten secara simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa resistensi pada obat anti tuberkulosis lainnya) (Vareldzis, et al. 1994). Analisa secara genetik dan molekuler pada mikobakterium tiberkulosis menjelaskan bahwa mekanisme resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap target obat (Spratt, 1994) atau oleh titrasi dari obat akibat overproduksi dari target.
1. Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase peroksidase (Riyanto, et al. 2006).
Mutasi Micobacterium tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase (Wallace, et al. 2004).
2. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler (Riyanto, et al. 2006. Wallace, et al. 2004). Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA.
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih 12. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manuisia tidak terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut (Riyanto, et al. 2006).
3. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek (Riyanto, et al. 2006). Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat (Wallace, et al. 2004).
Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase (Wallace, et al. 2004).
4. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel.
Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus (Wallace, et al. 2004).
5. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi ribosomal. Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin ribosomal14. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin (Wallace, et al. 2004).
D. Diagnosis
Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai standar terapi; 2) Kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau kambuh; 4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB (Riyanto, et al. 2006).
Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai (Riyanto, et al. 2006).
Prediksi seseorang dalam risiko untuk melakukan uji resistensi obat adalah langkah awal deteksi resistensi obat. Prediktor terpenting resistensi obat adalah riwayat terapi Tb sebelumnya, progresiviti klinis dan radiologi selama terapi Tb, berasal dari daerah insidens tinggi resisten obat dan terpajan individu infeksi resisten obat Tb. Setelah pasien dicurigai MDR Tb harus dilakukan pemeriksaan uji kultur M. Tb dan resistensi obat. Laboratorium harus mengikuti protokol jaminan kualiti dan memiliki akreditasi nasional / internasional. Khususnya 2 sampel dengan hasil yang berbeda dari laboratorium dengan tingkat yang berbeda direkomendasikan untuk diperiksakan pada laboratorium yang lebih balk.
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB resisten khususnya pada suasana dengan prevalensi TB resisten tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin (Martin, et al. 2007).
E. Penatalaksanaan MDR TB
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2008) :
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin. Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid), ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal.
Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat TB yang pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance surveillance (DRS) di suatu area, dan hasil DST dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana yang dipakai, maka dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut, dan pengobatan secara empiris yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut.
Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen didasarkan atas hasil DRS yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut akan diterapkan. Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama.
Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita : awalnya semua pasien akan mendapat regimen yang sama selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang telah tersedia dari pasien yang bersangkutan.
Pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu pasien: tiap regimen bersifat individualis, dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat dari pasien yang bersangkutan tersedia.
Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai brikut (World Health Organization, 2008):
1. Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih menunjukkan efikasi
2. Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan
3. Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan fluorokuinolon
4. Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin efektif
5.Tahap 5: pertimbangkan menambahkan sekurang kurangnya 2 obat dari golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila dirasakn belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4.
Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain (World Health Organization, 2008) : (1) Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita. (2) Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan obat lini kedua yang berada di area / negara tersebut. (3) Regimen minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui efektifitasnya. (4) Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan. (5) Obat diberikan sekurang-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin etambutol, pirazinamid, dan fluoro kuinolon diberikan setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi. (6) Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi. (7) Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh. (8) Pirazinamid dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif. Sebagian besar penderita MDR TB memiliki keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif. (9) Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan.
Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat Obat anti tuberkulosis lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal.
F. Pemantauan selama pengobatan
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB – batuk, berdahak, demam dan BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan MDR TB dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien MDR TB adalah; (1) penilaian klinis termasuk berat badan, (2) penilaian segera bila ada efek samping, (3) pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan, (4) pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan, (5) uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan pengobatan, (6) Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin), (7) pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid.
G. Pencegahan terjadinya resistensi obat
WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru TB antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai “evidence based” dan tes kepekaan kuman.
H. Strategi DOTS Plus
Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan MDR TB. Strategi DOTS Plus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci :
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi drug resistance)
2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/ DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.
Daftar Pustaka
Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.
Bell RT. Tuberculosis of the 1990s: the quiet public health threat. Pa Med 1992;95:24-5.
Bloom BR, Murray CJL. Tuberculosis: Commentaryon a reemergent killer. Science 1992;257:1055-64.
Crofton SJ, Chaulet P, Maher D. Guidelines for the management of drug-resistant tuberculosis. Geneva, Switzerland: WHO;1996.p.5-9.
Francis J. Curry National Tuberculosis Center, San Francisco Departement of Public Health, University of California. Drug-Resistant Tuberculosis a Survival Guide for Clinicians. Loeffler AM, Daley CL, Flood JM editors. California San francisco: CDC-12004.p.1-14.
Freiden TE, Sterling T, Pablos-Mendez A, Kilburn JO, Cauthen JO, Dooley SW. The emergence of drugresistant tuberculosis in New York city. “New England Journal Medicine” 1993;328:521-6.
Iseman MD, Goble M. Multidrug-resistant tuberculosis. N Engl J Med. 1996;334-268-9.
Leitch GA. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) , Crofton and Douglas’s Respiratory diseases Vol 1, 15th ed. Berlin.2000.
Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance detection in Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient care, 1st ed. www.textbookcom. 2007.
Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds), Baum’s Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and Wilkins Publisher, Boston, 2003.
Munsiff SS, Bassoff T, Nivin B, et al. Molecular epidemiology of multidrugresistant tuberculosis, New York City, 1995-1997. Emerg Infect Dis. 2002;8:12308.
Partners In Health, Harvard Medical School, Bill & Melinda Gates Foundation. A DOTS-Plus Handbook Guide to the Community based Treatment of MDR TB. Boston, Massachusetts: PIH-12002.p.1-13.
Partners In Health, Harvard Medical School, Division of Social Medecine and Health Inequalities Brigham and Women’s Hospital. The PIH Guide to the Medical Management of Multidrug-Resistant Tuberculosis International Edition. Rich ML editor. Boston, Massachusetts: PIH;2003.p.1-19.
Parsons LM, Somoskovi A, Urbanczik R, Salfinger M. Laboratory diagnostic aspects of drug resistant tuberculosis. Front Biosci. 2004;9:2086-105.
Rattan A, Kalia A, Ahmad N. Multidrug-Resistant Mycobacterium tuberculosis: Molecular Perspectives. “Emerging Infectious Diseases” Vol. 4, No. 2, April–June 1998.
Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala. PERPARI.Bandung. 2006.
Sarin R. MDR-TB – Interventional Strategy. Indian J Tuberc 2007;54:110-6
Snyder DE Jr, Roper WL. The new tuberculosis. “New England Journal Medicine” 1992;326:703-5.
Spratt BG. Resistance to antibiotics mediated by target alterations. Science 1994;264:388-93.
The WHO/IUATLD Global Project on Anti-Tuberculosis Drug Resistance Surveillance. Anti-Tuberculosis Drug Resistance in the World. Report No. 3. Geneva, Switzerland: WHO-12004.p.7-36.
Vareldzis BP, Grosset J, de Kantor I, Crofton J, Laszlo A, Felten M, et al. Drug-resistant tuberculosis: laboratory issues. World Health Organization recommendations. Tubercle and Lung Diseases 1994;75:1-7.
Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E (eds), Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill. New York. 2004.
World Health Organization report on TB epidemic. Global TB programme. Geneva: The Organization; 1997.
World Health Organization. Key point. WHO Report 2008 : Global Tuberculosis Control 2008 surveillance, planning, financing. Geneva, Switzerland: WHO;2008.p.3-7.
World Health Organization. Profiles of high-burden countries. Country profile Indonesia. WHO Report 2008 : Global Tuberculosis Control 2008 surveillance, planning, financing. Geneva, Switzerland: WHO-,2008.p. 113-8.
World Health Organization. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis. Geneve, Switzerland: WHO;2006.p.1-8.
World Health Organization. Treatment of tuberculosis: guidelines for national programmes, 3rd ed. Geneva, Switzerland: WHO-2003.p.39-47.
Komentar
Posting Komentar