Sepaket “Birthday gift” #3 edisi Yogyakarta
Pantai dan goa menjadi
sasaran kami selanjutnya. Pantai Pok Tunggal, yang bisa dibilang masih pantai
baru, jadi tempat kami melepas penat dan merebahkan raga ini sejenak. Camping di hari Jumat tak membuat
semangat kami luluh, walaupun tidak begitu ramai. Justru suasana yang tenang
dengan derapan ombak yang berkejar-kejaran lah yang kami cari.
Kami menyiapkan semua
perlengkapan dengan matang, termasuk dome,
alat penerangan, serta logistik. Perjalanan dari kota Jogja menuju Gunung Kidul
menguras waktu sekitar 2 jam. Ditemani motor bebek kesayangan, kami pun melaju
santai menuju pantai Pok Tunggal. Awalnya kami bingung menentukan pantai mana
yang akan menjadi tujuan kami, namun entah digerakkan oleh insting apa akhirnya
Pok Tunggal yang menjadi pilihan kami.
Pandangan bebas lepas begitu
sampai di tepi pantai. Terkesima dengan luasnya lautan dengan ombak yang
berkompetisi akan ketinggian. Berjalan tanpa alas kaki menyusuri tepi pantai memulai
perjalanan kami sore itu. Sambil mencari lokasi yang cocok untuk mendirikan
“rumah singgah” sementara. Hanya butuh waktu sekitar 30 menit untuk membangun
dan menata “rumah kecil” itu. Waktu menunjukkan pukul 17.15, dan itu berarti
sinar matahari akan segera meninggalkan petang itu. Namun sayang, ketika itu
awan sedang galau sehingga sunset pun
tidak bisa kami nikmati di sore itu.
Sesuai rencana awal, kami
punya rencana untuk membuat sejenis birthday’s
surprise untuk orang yang spesial buat kami. Kami sudah mempersiapkan
konsep ini sebelum berangkat camping.
Kami tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dan langsung beraksi dengan
dokumentasi yang super pastinya.
Seperti pepatah “ketika satu
pintu tertutup, maka pintu yang lain akan terbuka”. Begitu juga dengan keadaan
kami di saat itu. Tak bisa menikmati sunset¸
tapi masih dapat menikmati taburan bintang di langit malam itu. Rasi bintang
Orion, Gubuk penceng, dan hampir bisa merangkai bintang-bintang tersebut
menjadi berbagai bentuk. Ditemani segelas cokelat panas, semangkok bubur ayam
instan, suara ombak yang begitu deras, menambah sejuknya hati. Tak mau
melewatkan kesempatan juga, kami pun asyik membuat siluet dalam kegelapan.
Mencetak ungkapan sederhana dengan sebuah cahaya yang nantinya akan terekam
oleh kamera. Hasilnya cukup memuaskan dan membuat kami ketagihan untuk
mengembangkan beberapa ungkapan lagi.
Jam pun sudah menunjuk ke
angka 11. Kami bergegas masuk ke dalam tenda namun sebelumnya kami memindah
“rumah kecil” itu agak ke belakang karena ombak semakin tinggi dan menyapu tepi
pantai. Untuk pertama kalinya camping di
pantai, rasanya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Angin pantai mulai
menyeruak dan menusuk kalbu. Jaket dan parasut menjadi penghalang kami. Waktu
semakin berlalu dan akhirnya sinar matahari membangunkan kami. Mie instan
menjadi menu pagi itu dan dilanjutkan dengan membongkar “rumah singgah” kami.
Sebelum meninggalkan pantai itu, kami sempatkan sejenak untuk mengambil
dokumentasi dan bermain air di laut. Rasanya sudah cukup lama tak menginjakkan
kaki ke air laut. Rasa haru biru menyelimuti hati ini. Dan tepat pukul 08.00
kami meninggalkan pantai dan menuju Goa Pindul yang lumayan jauh dari pantai.
Perjalanan menuju Goa Pindul
cukup dengan waktu 1 jam. Berbekal keberanian, kami mencoba mencari lokasi itu,
dan untungnya ketika kami akan tanya ke suatu toko, ada sosok pria yang
menghampiri. Beliau bersedia mengantar kami ke lokasi dengan ongkos Rp. 0,-
alias gratis. Di sana terdapat beberapa macam pengelola, salah satu diantaranya
yaitu Wira. Tersedia beberapa macam paket untuk dapat menikmati obyek wisata
disana. Ada cave tubing Pindul (35
ribu), river tubing Oyo (40 ribu),
paket one day, rafting, dan masih
banyak lagi lainnya. Kami hanya memilih 2 paket tersebut, cave tubing Pindul (35 ribu) dan river tubing Oyo (40 ribu). Sebelum memulai tubing, kami diberikan waktu untuk ganti baju dan menitipkan
barang. Setelah siap semua, kami menuju Goa Pindul namun sebelumnya ke tempat
pelampung dan ban untuk safety diri
sendiri.
Goa Pindul terbagi atas 3
zona, yaitu Zona terang, zona remang, dan zona gelap. Keindahan stalaktit dan
stalakmit yang tumbuh menambah rasa takjub kami. Beberapa stalaktit dan
stalakmit tersebut masih aktif, ditandai dengan keluarnya tetasan air dari
ujung batu tersebut. Konon, pertumbuhan 1 cm stalaktit maupun stalakmit
membutuhkan waktu 10 tahun. Jadi bisa diperkirakan saja batu itu tumbuh mulai
tahun berapa, karena saat ini panjang dari stalaktit terbesar sudah hampir
mencapai 15 m.
Masuk ke zona remang, di
sini banyak sekali ditemukan mitos-mitos, baik untuk kaum laki-laki maupun
perempuan. Terdapat semacam batu nisan di pinggir goa, dan konon jika para
laki-laki menyentuh batu tersebut akan bertambah keperkasaannya. Dan tak jauh
dari batu tersebut, ada kumpulan stalaktit muda yang masih aktif, dan tetesan
airnya itulah yang dianggap mampu mendekatkan jodoh bagi para perempuan yang
mengambilnya. Keluar dari zona remang, masuklah ke zona gelap, dimana zona
tersebut dianggap paling sakral karena notabene dulu dipakai salah satu pemuka
masyarakat untuk bersemedi. Dan di akhir zona gelap, kami disuguhkan dengan
pemanasan terjun dari ketinggian 3m dan bisa melepas ban.
Setelah menakhlukkan Goa
Pindul, kami menuju Sungai Oyo dengan diantarkan mobil pickup. Seraya melewati hamparan padi yang luas nan hijau, kami
bernyanyi sepanjang perjalanan. Arus sungai yang tenang tak membuat kami risau.
Kami tetap dapat menikmati river tubing walaupun
dengan sedikit tambahan tenaga mengayuh ban untuk dapat terus melaju. Setengah
perjalanan pun terlewati. Kami disuguhkan dua macam tebing untuk mempraktekkan
loncat indah dari ketinggian 5m dan 9m. Disini bisa dibilang sebagai rest area. Tersedia jajanan untuk mengisi
energi kembali sebelum melanjutkan perjalanan.
Diantara kami berempat tak
ada yang berani mencoba untuk loncat indah dari kedua ketinggian tersebut. Kami
semua phobia ketinggian. Jadi kami di rest
area hanya menikmati jajanan dan melihat para pengunjung lain menunjukkan
kebolehannya dalam loncat indah.
Kemudian kami melanjutkan
perjalanan ke finish. Namun di ¾ perjalanan terakhir, tiba-tiba
saudara-saudaraku mulai iseng. Mereka mengeluarkan dari ban dan pelampung,
mencoba menenggelamkanku. Katanya sih gara-gara aku ulang tahun (padahal itu
masih H-11). Mereka berhasil membuatku malu karena kehebohan gak bisa renang
dan akhirnya teriak-teriak ke rombongan lain untuk bisa gabung dengan
rombongannya. Namun itu sepertinya absurd¸
teriakanku tak berarti apa-apa buat mereka. Mereka malah meninggalkanku
begitu saja. Dengan penuh usaha dan tampang wajah pasrah, mereka pun iba dan
akhirnya membawa ke finish.
Perjalanan yang melelahkan,
membuat kulit jadi belang, namun tak terlupakan. Akan kusimpan jadi kenangan
terindah, serangkain kado ultah dari saudara tercinta. J
Komentar
Posting Komentar