Pengkajian Gerontologi




  Gerontologi merupakan ilmu yang mempelajari proses menua dan permasalahannya. Proses menua bukanlah sesuatu penyakit, akan tetapi menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsanagan baik internal maupun eksternal. Menurut UU DepKes RI No. 4 tahun 1965, seseorang dikatakan lansia jika sudah berumur 55 tahun ke atas.
  Seiring dengan bertambahnya usia dan penurunan fisiologis tubuh lansia, banyak problematika yang dapat ditemukan. Oleh karena itu, sebelum berlanjut ke dampak yang tidak diinginkan, maka dibutuhkan suatu metode awal  untuk mencegah keberlanjutan dampak yang ditimbulkan tersebut.
  Pengkajian merupakan langkah awal sebelum melakukan suatu tindakan untuk permasalahan yang timbul. Begitu pula dalam menghadapi masalah yang dihadapi oleh lansia, maka diperlukan suatu pengkajian yang dalam terminologinya disebut dengan pengkajian gerontologi.
Namun sebelum melakukan pengkajian, perlu mengetahui kunci sukses dari pengkajian terlebih dahulu, antara lain:
1.  Identifikasi bias dari pemeriksa/ stereotype tentang lansia. Identifikasi bias dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang akurat, sehingga dapat dihindari dengan menggunakan pertanyaan terbuka dalam mengkaji/ wawancara. Selain itu, pemeriksa juga harus bisa menghilangkan stereotype tentang lansia, misalnya pemeriksa tidak boleh langsung men-judge bahwa lansia pasti mempunyai penyakit hipertensi karena lansia mayoritas menderita penyakit hipertensi. Hal tersebut tidak diperbolehkan karena tidak semua lansia menderita hipertensi.
2.    Sadar akan perubahan sistem tubuh lansia. Seiring dengan penurunan fungsi fisiologis tubuh lansia, maka sistem tubuh lansia juga akan mengalami berbagai perubahan. Namun pemeriksa/ tenaga kesehatan harus dapat membedakan keadaan mana yang fisiologis, mana yang patologis.
3.   Bedakan antara keadaan perubahan normal dan patologis. Tidak semua perubahan yang terjadi pada lansia itu bersifat patologis. Tenaga kesehatan harus jeli dalam membedakan perubahan yang terjadi.
4.     Identifikasi tanda tidak normal dalam penyakit lansia. Manusia itu unik, berbeda antara yang satu dengan yang lain. Begitu juga dalam hal menifestasi klinis suatu penyakit yang diderita. Gejala penyakit yang dirasakan oleh seorang lansia, belum tentu sama dengan gejala yang dialami oleh lansia yang lain.
5.     Gunakan waktu yang cukup untuk membina hubungan saling percaya (BHSP) untuk menggali informasi klien. Pada saat menggali informasi utama pasien (kebutuhan fisik), tidak cukup dengan data itu, karena kebutuhan lansia erat kaitannya dengan kebutuhan sosial juga.
6.   Memberikan kenyamanan saat melakukan pengkajian. Kenyamanan merupakan suatu esensi yang penting dalam komunikasi dengan orang lain, karena dengan kenyamanan individu tersebut akan dapat menikmati proses tersebut.
7.  Screening sesuai dengan masalah yang umum pada lansia. Terkadang lansia di suatu tempat memiliki permasalahan yang berbeda dengan lansia di tempat lain. Misalnya, di Panti Sosial A permasalahan yang sering muncul adalah masalah nutrisi, sehingga dibutuhkan screening berupa antropometri, pemeriksaan tekanan darah, gula darah, asam urat, dan pemeriksaan nutrisi yang lain. Sedangkan di Panti Sosial B, permasalahan yang sering muncul adalah lansia di situ sering terjatuh, sehingga selain pemeriksaan antropometri juga diperlukan screening berupa screening resiko jatuh, kemudian bisa juga resiko decubitus karena bisa jadi lansia yang jatuh tersebut mengalami cedera sehingga memungkinkan untuk bedrest.
8.  Perhatikan adanya pengabaian dan kekerasan pada lansia. Mengkaji produktivitas dari lansia tersebut, apakah bekerja atau tidak, kemudian jika tidak bekerja, beliau mendapatkan supply dari siapa untuk dapat survive. Selain itu juga dapat menanyakan terkait kehidupan lansia, beliau tinggal sendirian, dengan keluarga atau yang lain.
9.    Pertimbangkan obat yang dikonsumsi dan dampak konsumsi obat. Dahulu lansia dikenal dengan sebutan “poli farmasi” karena terlalu banyaknya obat yang dikonsumsi. Namun, perlu dipertimbangkan juga akan dampak yang ditimbulkan oleh obat-obat yang dikonsumsinya tersebut, karena obat-obat tersebut pasti mempunyai efek jangka pendek maupun jangka panjang. Misalnya, jika lansia tersebut memiliki riwayat penyakit maag, maka sering mengkonsumsi antasid. Dan efek jangka panjang dari penggunaan obat tersebut pada lansia ketika dilakukan endoskopi  pada saluran pencernaan maka akan tampak benjolan-bejolan kecil seperti kutil berisi nanah.
10. Menggunakan sumber lain untuk memvalidasi informasi lain. Pada saat melakukan pengkajian, pemeriksa sering lupa melakukan validasi terlebih dahulu. Misalnya, pada lansia yang mengalami gangguan pendengaran, ketika ditanya maka akan menjawab seadanya, sependengaran lansia tersebut. Hal itu tentu akan mempengeruhi data yang kita peroleh. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut di awal wawancara lakukan validasi terlebih dahulu. Validasi dapat dilakukan dengan bertanya “Apakah suara saya jelas, Mbah?”. Dari jawaban yang diberikan oleh lansia tersebut, pemeriksa dapat menganalisis terdapat gangguan pendengaran atau tidak. Kemudian pemeriksa dapat melanjutkan langkah selanjutnya.
Adapun pengkajian awal gerontologi yang dapat dilakukan berupa:
1.  Status mental dapat menggunakan instrumen GDS (Geriatric Depression Scale) atau MMSE (Mini Mental State Examination).
2.    Pernafasan, tekanan darah, denyut nadi, suhu. Sebelum menentukan jumlah tersebut normal atau abnormal, pemeriksa perlu mengetahui berapa angka normal dari indikator tersebut.
3.     Keadaan kulit. Pemeriksa tidak boleh enggan untuk menyentuh kulit pasien karena jika visualisasi saja pemeriksaan tidak valid.
4.      Riwayat penyakit dan pengobatan.
5.     Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dimaksudkan disini adalah head to toe (pemeriksaan dari ujung kepala hingga ujung kaki).
Berikut macam-macam alat screening pada lansia:
1.     CIRS (Cumulative Illness Rating Scale) for geriatric, dan SIP (Sickness Impact Profile) untuk keadaan umum lansia.
2.      SF-36 (Short Form – 36) untuk mengukur kualitas hidup pada lansia.
3.      FPS (Faces Pain Scale) dan VAS (Visual Analogue Scale) untuk mengukur tingkat nyeri.
4.  Katz ADL, Barthel Index, dan IADL (Instrumental Activity Daily Living) untuk mengukur kemampuan ADL atau aktivitas sehari-hari.
5.      Get up and go test, Tinetti balance and gait evaluation, PPT (Physical Performance Test) untuk mengukur kemampuan berjalan dan resiko jatuh pada lansia.

Komentar

Postingan Populer